Singaraja, 30 Oktober 2025 – I Wayan Sadyana, S.S., M.Si., dosen Pendidikan Bahasa Jepang (PBJ), Fakultas Bahasa dan Seni (FBS), Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha), menjadi salah satu pembicara dalam Diskusi Kelompok Terpumpun Penyusunan Modul Pembelajaran Bahasa Bali Dialek Bali Aga yang berlangsung pada 21–24 Oktober 2025 di Hotel Azana, Seririt. Kegiatan ini diikuti oleh dosen serta mahasiswa Program Studi Bahasa Bali, serta para pemuka adat SCTPB (Sidatapa, Cempaga, Tigawasa, Pedawa, dan Banyuseri).
Tujuan utama kegiatan ini adalah menyusun Modul Pembelajaran Bahasa Bali Dialek Bali Aga yang akan digunakan dalam pelatihan guru utama serta mendukung program Revitalisasi Bahasa Daerah (RBD) Dialek Bali Aga pada tahun 2026. Modul ini disusun oleh akademisi, praktisi, dan tokoh masyarakat, dengan empat materi utama yaitu masatua, pidarta, nyurat lan ngwacen puisi Bali, dan babanyolan. Selain sebagai upaya penyusunan modul, kegiatan ini juga menjadi ruang untuk memperkuat eksistensi dialek-dialek Bali Aga yang selama ini kurang mendapat perhatian. Bahasa daerah merupakan jati diri sekaligus cerminan kearifan lokal masyarakat Bali yang patut dijaga.
Menurut Wayan Sensei, desa-desa Bali Aga memiliki dialek khas yang berbeda dari bahasa Bali dataran. Namun dalam perayaan Bulan Bahasa Bali setiap Februari, dialek Bali Aga jarang ditampilkan. Karena itu, ia mengusulkan agar kegiatan tersebut juga melibatkan dialek lain seperti Bali Aga, Loloan, Pegayaman, hingga Bali-Madura. Semua dialek itu merupakan bagian dari kekayaan bahasa Bali yang perlu dipertahankan.
Wayan Sensei menegaskan bahwa bahasa daerah merupakan bagian dari kebudayaan yang mencerminkan cara berpikir dan identitas masyarakatnya. Dialek Bali Aga, kata beliau, kini menghadapi ancaman karena pengaruh urbanisasi, budaya luar, dan menurunnya kebiasaan berbahasa daerah di kalangan generasi muda. Banyak anak muda Bali Aga yang tumbuh di perkotaan sudah tidak lagi menggunakan bahasa leluhurnya.
Salah satu tantangan utama adalah faktor gengsi berbahasa. Beberapa generasi muda merasa malu menggunakan dialek Bali Aga karena dianggap kurang halus dibanding bahasa Bali dataran. Untuk itu, Wayan Sensei mendorong pendidikan berbasis adat agar pembelajaran bahasa Bali Aga dapat berjalan optimal. Ia juga mengajak masyarakat untuk menampilkan cerita rakyat dan kesenian daerah melalui kegiatan Bulan Bahasa Bali, serta melakukan dokumentasi tutur sebagai warisan bahasa bagi generasi mendatang.
Melalui langkah-langkah tersebut, diharapkan bahasa Bali Aga dapat bangkit kembali, menumbuhkan rasa bangga dan percaya diri masyarakat, serta mempertegas identitas budaya Bali Aga sebagai bagian penting dari kekayaan bahasa dan budaya Indonesia.






